Definisi Syura
Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian,
yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu. Sedangkan
secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura,
diantara mereka adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai
proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura.
Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya
dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana
peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki. Sedangkan definisi
syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses
menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi
yang mendekati kebenaran.
Dari berbagai definisi yang disampaikan di
atas, kita dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai
pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara
atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan
solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan
dapat terealisasikan
Pensyari’atan Syura dalam
Islam
Islam telah menuntunkan umatnya untuk
bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan
bernegara. Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta
pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan
Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim :
1480].Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman,
فَإِنْ
أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
“Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 1/635].
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.
Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali ‘Imran :
159].Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. [Asy Syura : 36-39].Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran al-‘Azhim 7/211].
Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126].
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.
Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.
Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat al-Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.
Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.
Syura Sebagai Pilar Islam
1. Syura salah satu pilar sistem Islam
yang harus membudaya di seluruh lapisan masyarakat. Allah swt. mensejajarkan
syura dengan shalat dan zakat. Yaitu syura hukumnya wajib seperti halnya shalat
dan zakat, bahkan sebagai pilar sistem masyarakat Islam yang apabila tidak diamalkan
berarti telah melakukan dosa besar dan meruntuhkan tatanan masyarakat
Islam. Allah berfirman dalam surat Syura ayat 38,
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
2. Syura sebagai budaya masyarakat Islam,
وَأَمْرُهُمْ
شُورَىْ
“dan urusan mereka adalah syura ”
Nash ini menegaskan bahwa syura dalam
masyarakat Islam bukan hanya teori apalagi hanya sekadar wacana. Akan tetapi
harus sudah menjadi budaya yang melekat di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kalimat “dan urusan mereka adalah syura” lebih tinggi tingkatannya dari kata
yang menunjukkan perintah. Seperti: ”bersyuralah kalian”, ”laksanakanlah syura
oleh kamu”, “kamu wajib bermusyawarah” dan kata-kata semisalnya. Kalimat “dan
urusan mereka adalah syura ”konotasinya bahwa mereka sudah membiasakan syura
dalam kehidupan sehari-hari dan sudah menjadi sistem kehidupan. Sedangkan
kalimat ”bersyuralah kalian” adalah kata perintah yang menuntut respon dari
yang menerima perintah. Mungkin melaksanakannya atau mungkin tidak. Ketika
dilaksanakan belum tentu berkelanjutan jadi hanya dilaksanakan sekali
kemudian terputus tidak pernah dilakukan lagi.
3. Syura sebagai prinsip yang harus ditegakkan
dalam semua marhalah. Baik itu marhalah sirriyyah atau
jahriyah, jama’ah atau daulah, di saat mudah maupun susah, pada
kondisi lemah atau kuat, di waktu jumlah kader masih sedikit atau sudah banyak,
ketika struktur masih terbatas atau sudah mapan dan seterusnya. Kita tahu bahwa
surat as-Syura di antara surat-surat Makkiyah (yang diturunkan pada priode
Mekah), di periode umat Islam secara jumlah masih sedikit, secara tanzhim masih
sangat terbatas, kekuatan masih sangat lemah dan marhalah dakwah baru
memasuki marhalah jamaah belum memasuki marhalah daulah, tetapi
Rasulullah dan para sahabatnya sudah membudayakan syura.
Ketika sudah sampai pada marhalah daulah
dan Rasulullah saw. sebagai Kepala Negara, sistem sudah mapan dan masyarakat
Islam sudah mandiri, kewajiban menegakkan syura diperkuat dan dipertegas kembali
dengan perintah Allah swt dalam Surat Ali ‘Imran ayat 159,
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar